Kesulitan pasti ada. Dalam hidup ini, kesulitan adalah bagian dari kehidupan yang tak terpisahkan. Allah telah menciptakan segala yang ada berpasangan. Ada malam ada siang. Ada tinggi ada rendah. Ada kemudahan ada kesulitan.

Karena kesulitan tak mungkin terelakkan, kita dituntut untuk mempersiapkan diri dalam menghadapinya. Tidak sedikit yang sukses keluar dari kesulitan yang terjadi. Tetapi juga tidak jarang yang jatuh terjerembab dalam kesulitan yang lebih rumit. Ini dampak dari dahsyatnya hantaman kesulitan membentur kita. Sementara kekuatan kita untuk bertahan tidak sekuat dahsyatnya kesulitan itu. Akhir-nya, jangankan untuk keluar dari kesulitan, bertahan pun sulit.

Tentu kita ingin selalu menjadi pemenang dari setiap pergumulan hidup. Maka kiranya tips berikut dapat membantu kita untuk bertahan dalam kesulitan. Serta rnenuntun kita keluar darinya sebagai orang yang bisa tersenyum karena mendapat kalung juara.

Pertama, Sandarkan Diri Ini Kepada Dzat Yang Maha Menyelesaikan


Manusia adalah makhluk yang lemah. Dia butuh pegangan yang kuat. Karena perjalanan dunia ini tidak datar. Kekuatan yang dimiliki hanya sebatas usaha yang sama sekali tidak menentukan. Banyak perkiraan dan rencana matang yang meleset. Karena memang di balik ini semua ada kekuatan Dzat Maha kuat yang menentukan.

Kita butuh Allah di saat keadaan sedang stabil dan normal. Ketika keadaan sedang sulit dan tidak bersahabat kita lebih butuh Allah. Apalagi kalau orang di kanan kiri kita yang biasa membantu memberikan solusi tidak lagi bisa diharapkan. Ya. karena mereka juga manusia yanq sangat terbatas seperti kita.

Dalam keadaan seperti ini, tidak ada jalan lain kecuali kita “rnelangit“ rnencari solusi di sana. Pintu solusi dari langit akan seialu dibuka selama kita membuka pintu hati kita untuk menerima keputusan Allah.

Maha suci Allah, Dia berbeda dengan makhiuk. Semakin banyak permasalahan yang kita keluhkan, semakin banyak permintaan yang kita ajukan, semakin Allah menyukai kita. Berbeda dengan makhluk yang miskin ini. Jangan terlalu banyak merengek kepada-nya, karena dia juga masih perlu bantuan.

Penyerahan diri kepada Allah akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi segala permasalahan. “Barang siapa yang ingin menjadi rnanusia yang paling kuat, maka bertawakal-lah," begitu sabda Rasulullah.

Tawakal ini sekaligus akan mendatangkan ketenangan. Ketenangan karena kita sadari bahwa kesulitan yang mendera, adalah bagian dari “skenario” Ilahi. Ketenangan karena Allah tempat kita bersandar, di tangan-Nyalah terdapat solusi.

Umu Salamah adalah kisah teladan dalam hal ini. Ketika ia harus merelakan kepergian suaminya. Padahal anak-anaknya masih kecil dan butuh kasih sayang serta perhatian dari ayah. Pada hari meninggalnya sang suami mujahid itu, Umu Salamah menyerahkan segalanya kepada Allah yang memiliki semuanya. “Inna /lilahi wa inna ilaihi roji’un, Ya Allah berikan aku pahala dari musibah ini dan gantikan aku dengan yang lebih baik.” Itulah kepasrahan tulus mengiringi dipejamkannya mata sang suami oleh Rasulullah yang ketika itu hadir menyaksikan.

Umu Salamah begitu tenang. Kesedihan pasti ada dan manusiawi. Kesadarannya bahwa Allah yang menghendaki ini semua telah membuatnya tenang. Kesulitan tidak sampai menggoncang hidupnya.

Ketenangan itu diikuti oleh doa tulus yang didengar Allah. Allah menggantikan musibah dengan yang lebih baik, seperti yang ia minta. Rasulullah menggantikan kedudukan suami-nya. Yang akan mendampinginya dan mengurus putra-putrinya. Yang mengangkatnya menjadi Ummul Mukminin. Suatu kebanggaan, ketika kelak di hari kiamat dibangkitkan dengan status istri manusia termulia, Rasulullah. Kepasrahan yang tulus akan melahirkan solusi.

Kedua, Sadarilah Kesulitan Pasti Datang

Kesadaran terhadap sesuatu membuat orang tidak tercengang dan akhirnya terduduk ketika sesuatu itu tiba. Dia akan mempersiapkan mental untuk menjemput kedatangannya. Istri seorang tentara yang sadar bahwa ia sering ditinggal tugas dan sang suami bisa gugur di medan tugas, akan membuatnya lebih tenang ketika musibah itu benar-benar terjadi. Karena sebagian dari kegoncangan jiwa telah pergi bersama kesadarannya terhadap musibah yang sudah diperkirakan sebelumnya.

Kesadaran Abu Bakar bahwa Rasul adalah manusia yang pasti akan mati, membuatnya begitu tenang ketika hal itu terjadi. Di saat seorang Umar bin Khottob yang berjiwa tegar begitu tergoncang. Sampai ia mencabut pedangnya dan mengancam akan membunuh orang yang mengatakan bahwa Rasul telah tiada. Kesadaran Abu Bakar telah membuatnya sangat siap menghadapi kesulitan. Sedang Umar ketika itu belum mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan tersebut.

Mereka yang tenang dalam menghadapi musibah, akan lebih cepat terlepas dari kesulitan itu. Bahkan dialah yang akan mampu membimbing yang lain untuk mengikuti jejaknya dalam menghadapi kesulitan.

Di saat para shahabat lain larut dalam kesedihan yang mendalam, mereka tidak mampu meredam emosi Umar. Abu Bakar tampil dengan begitu tenang dengan perkataannya, “Barang siapa yang menyembah Muhammad dia telah mati. Dan barang siapa yang menyembah Allah sesungguhnya Dia maha hidup dan tidak akan mati." Kemudian ia membaca ayat yang artinya, "Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul yang telah didahului oleh Rasul-rasul sebelumnya. Apakah jika ia mati atau terbunuh kalian akan kembali berpaling?" Aliran kata-kata Abu Bakar yang diperkuat oleh ketenangan hati mampu menjatuhkan pedang Umar dan menyadarkannya.

Maka di samping optimisme, munculkan pula kemungkinan terburuk dari rencana itu. Ciptakan kesadaran mulai hari ini bahwa musibah pasti akan datang menghampiri. Sadarlah bahwa orang-orang yang kita cintai pasti akan pergi. Sadarlah suatu saat dunia yang kita genggam saat ini juga ada saatnya hilang. Sadarlah tidak semua yang kita lakukan akan kita raih sebagaimana yang kita harapkan.

Ketiga, Berbagilah dengan Orang yang Dekat.

Manusia adalah makhluk sosial, siapa pun dia. Dia masih butuh orang lain. Apalagi di saat-saat sulit. Berbagi cerita duka yang sedang mendera merupakan bagian dari solusi. Tentu bukan kepada sembarang orang kita bercerita. Kita harus memilih orang itu. Yaitu mereka yang istimewa dalam kehidupan kita. Yang mampu menghibur, menasehati sampai membantu mencarikan solusi.

Bisa jadi dia adalah istri, suami, ayah, ibu, adik, kakak, saudara seperjuangan atau teman akrab di tempat kerjaan. Mereka yang dekat dengan kita akan mendengar nafas duka yang kita hembuskan. Dia bisa menitikkan air mata di saat kita menangis. Dia akan memberikan usapan punggung agar kita tabah menghadapinya. Dia akan memberikan dekapan kasih sayang, agar kita merasakan bahwa masih ada yang peduli.

Setelah itu, biasanya setengah dari beban permasalahan yang menghimpit terasa lepas sudah. Tinggal sisanya, difikirkan bagaimana langkah konkrit untuk menyelesaikannya dengan fikiran yang lebih segar dan jernih.

Dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah, Rasul menghadapi kesulitan yang membuat beliau gundah. Rasul memerintahkan agar para shahabat memotong binatang yang yang dibawanya dari Madinah. Sedianya binatang-binatang tersebut akan dipotong di Mekah setelah mereka melaksanakan ibadah umrah. Tetapi karena mereka terhalang untuk masuk ke kata Mekah, Rasul memerintahkan untuk menyembelihnya di tempat itu.

Para shahabat menolak. Rasul sedih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian beliau masuk ke dalam tenda untuk berbagi duka itu dengan istri beliau Umu Salamah. Kata-kata yang keluar dari lisan sang istri, bak hujan di musim kemarau. Sang istri mengusulkan agar Rasulullah memulai memotong sendiri. Saran yang diusulkan istrinya itu ia laksanakan. Dan, kaum muslimin pun segera mengikuti.

Keempat, Sabar dan Teruskan Munajat serta Do’a

Ada kenikmatan, ada pula kesulitan. Maka, Rasul mengajarkan dua hal untuk mensikapi keduanya. Syukur dan sabar. Keduanya baik untuk kehidupan seorang mukmin.

Sabar bukan berarti diam. Sabar bukan berarti kita tidak boleh menangis dan sedih. Sabar bukan berarti kita tidak boleh mencari bantuan untuk mendapat solusi. Rasulullah pernah menangis ketika kehilangan putranya Ibrahim yang sedang lucu-lucunya. Para shahabat heran melihat air mata nabi tumpah. Nabi berkata, “Sesungguhnya hati ini bersedih, air mata pun mengalir dan kami sangat sedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim. Tetapi kami tidak berkata kecuali sesuai dengan keridhoan Allah."

Sabar adalah suatu sikap menerima musibah sebagai bagian dari taqdir. Sabar adalah ketenangan yang melindungi dari penyesalan yang tak berujung. Yang akan menyebabkan kesengsaraan semakin berat dan stres menjangkiti. Sabar menstabilkan kondisi hati yang sedang labil karena kesulitan. Dengan jiwa dan hati yang stabil akan membuka jalan lebih lebar menuju solusi.

Kemudian, bantulah solusinya dengan munajat dan do’a. Adukan segala kesulitan kita kepada Allah. Di tengah malam, di saat manusia terlelap dalam mimpinya, kita bermunajat. Kita adukan permasalahan kita dalam sujud panjang kita. Tangan kita tengadahkan sambil berurai air mata penuh harap akan pertolongan-Nya. Doa-doa pun meluncur deras seiring desakan-desakan hati yang sudah lelah terbebani kesulitan.

Umar bin Khottob di saat bangun malam membaca, “Sesungguhnya aku adukan keluh kesah dan kesedihanku kepada Allah.” (Qs. Yusuf: 86) sambil berurai air mata. Dia sadar betul bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah.

Perbanyaklah doa. Tidak rugi orang yang banyak berdoa. Karena tidak ada doa yang tidak dikabulkan, jika kita memenuhi seruan Allah. Memang, kadang apa yang kita minta tidak kunjung tiba. Tetapi pengabulan doa bukan hanya itu bentuknya. Kadang kala Allah mengabulkannya dengan cara menjauhkannya dari musibah. Atau Allah menyimpannya untuk kekayaan simpanan kita di akhirat sana.

Kesulitan adalah keniscayaan kehidupan. Tetapi tak ada sedikitpun alasan untuk kita terkalahkan oleh kesulitan itu. Wallahu’alam.